Dalam hidup, ada orang-orang yang berjalan lebih dulu membuka jalan, berjuang di kala gelap, menanam benih saat tak ada yang peduli. Mereka mungkin tidak kaya, tidak berkuasa, dan tidak dikenal. Tapi dari tangan merekalah sesuatu yang besar pernah lahir.
Namun, ironinya, ketika jalan sudah mulus dan hasil perjuangan mulai tampak, datanglah orang-orang baru membawa kekuasaan, harta, dan pengaruh. Mereka datang dengan langkah tegap, seolah semua yang berdiri hari ini adalah hasil kerja mereka. Sementara mereka yang dulu berpeluh, terlupakan begitu saja.
Sejarah punya cara aneh untuk diam. Ia sering kali diredam oleh suara yang lebih lantang, oleh mereka yang datang belakangan tapi punya segalanya: kekuasaan, kedudukan, dan ruang bicara. Nama-nama yang dulu berjuang dihapus perlahan dari ingatan, seolah tidak pernah ada.
Lebih menyakitkan lagi, mereka yang dulu menolong, kini justru dianggap penghalang. Orang-orang yang pernah menyalakan api di tengah gelap, kini dituduh ingin memadamkan cahaya. Mereka tidak hanya dilupakan mereka dihapus dari narasi keberhasilan yang pernah mereka bantu wujudkan.
Padahal, tanpa mereka yang berkorban di awal, takkan ada apa pun untuk dibanggakan hari ini. Tapi begitulah manusia; mudah terpesona oleh gemerlap, dan cepat melupakan akar yang pernah menumbuhkan pohon keberhasilan.
Melupakan sejarah bukan hanya kehilangan ingatan, tapi juga kehilangan hati nurani. Sebab di balik setiap pencapaian, ada peluh dan air mata orang-orang yang tidak tercatat namanya.
Mungkin inilah ujian terbesar bagi orang yang tulus: menerima kenyataan bahwa tidak semua kebaikan akan diingat, dan tidak semua pengorbanan akan dihargai. Tapi biarlah, karena sejarah sejati tidak ditulis oleh pena kekuasaan, melainkan oleh waktu.
Waktu akan bicara, ketika gemerlap itu meredup, dan kebenaran akhirnya muncul di antara puing-puing lupa. Maka kepada mereka yang pernah ditusuk dari belakang, yang jasanya dikubur oleh kepentingan percayalah, Tuhan tidak pernah lupa, meski manusia sering pura-pura tidak tahu.
