IniSulawesi.Com – Program Koperasi Desa Merah Putih (KDK MP) sejatinya dirancang sebagai instrumen penting dalam memperkuat ekonomi rakyat di tingkat akar rumput. Dengan modal awal mencapai miliaran rupiah per desa, pemerintah berharap koperasi ini mampu menjadi motor penggerak ekonomi lokal, membuka lapangan kerja, dan mendorong kemandirian desa. Namun, di balik gagasan yang mulia itu, ada satu persoalan mendasar yang berpotensi menjadi batu sandungan besar: tidak adanya gaji tetap bagi para pengurus koperasi.

Tanpa adanya jaminan penghasilan bulanan, pengurus koperasi akan berada dalam dilema. Di satu sisi mereka dituntut mengelola koperasi secara profesional mengurus administrasi, mengatur keuangan, mengawasi jalannya usaha, serta mempertanggungjawabkan seluruh aktivitas organisasi. Namun di sisi lain, mereka juga memiliki tanggung jawab keluarga dan kebutuhan hidup yang tak bisa ditunda. Maka wajar jika sebagian besar pengurus akan lebih fokus mencari penghasilan lain yang lebih pasti dibanding mengurus koperasi yang belum tentu menghasilkan dalam waktu dekat.

Kondisi ini sejatinya sudah pernah terjadi sebelumnya pada banyak Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Banyak di antaranya mati suri bukan karena kurang ide atau potensi usaha, melainkan karena lemahnya dukungan insentif bagi para pengurusnya. Pemerintah kerap menilai bahwa semangat gotong royong dan idealisme akan cukup untuk menggerakkan roda organisasi, padahal dalam praktiknya, semangat tanpa insentif finansial hanya akan bertahan sebentar.

Bandingkan dengan program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG). Program ini bisa berjalan cepat karena seluruh pelaksana dan pengelolanya mendapatkan upah yang layak. Sekitar 50 orang di setiap dapur MBG digaji oleh pemerintah, dan hasilnya, program mampu berjalan efektif sekaligus membuka lapangan kerja baru. Maka menjadi ironis ketika pendamping KDK MP yang bertugas membina koperasi digaji sekitar Rp7 juta per bulan, sementara pengurus koperasi yang bekerja setiap hari justru diminta berjuang tanpa imbalan tetap.

Tanpa penghargaan finansial, motivasi dan komitmen pengurus akan menurun, rekrutmen SDM berkualitas sulit dilakukan, dan pengelolaan koperasi cenderung tidak profesional. Akibatnya, yang tersisa hanyalah papan nama koperasi tanpa aktivitas nyata  sekadar formalitas administratif untuk memenuhi target program nasional.

Jika pola pikir ini tidak diubah, maka nasib KDK MP sangat mungkin akan mengikuti jejak banyak BUMDes sebelumnya: mati suri, bukan karena tidak punya potensi, tapi karena tidak adanya keadilan bagi para penggeraknya.

Agar KDK MP benar-benar sukses, pemerintah perlu memahami satu prinsip sederhana dalam pembangunan ekonomi: “Kesejahteraan pengelola adalah kunci keberlanjutan program.”

Tanpa itu, KDK MP akan tinggal kenangan sebuah ide besar yang gagal karena mengabaikan kebutuhan kecil manusia yang seharusnya menjadi penggeraknya.